Kejujuran itu mungkin bisa diibaratkan seperti obat. Kadang ada yang rasanya pahit sehingga kita enggan untuk meminumnya. Namun, kita tau kita butuh obat itu untuk sembuh atau minimal untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik.
Suatu ketika aku pernah menangis, karena sebuah kejujuran yang disampaikan oleh kawanku. Ia paparkan semua kelemahan dan kesangsiannya atas gagasanku. Waktu itu, untuk tetap tersenyum sebentar dan minta izin untuk pergi--agar tidak menangis di depan mereka--saja rasanya tak sempat. Airmataku jatuh saat itu juga, tidak terbendung lagi.
Seketika dadaku sesak dengan kenyataan, bahwa apa yang ia katakan benar. Namun, aku tidak siap untuk mendengarnya. Lebih tepatnya, aku tidak pernah menyiapkan diri. Dia pernah bilang di lain kesempatan,
"Yu, kita selalu ingin mendengar apa yang ingin kita dengar. Jarang ada yang mau mendengar apa yang seharusnya ia dengar."
Sejak saat itu aku sadar,