8.27.2014

Mengenal Seseorang

Ada pendapat yang mengatakan untuk mengenal seseorang maka lakukanlah perjalanan. Karena dengan begitu, semua hal tentang orang tersebut akan nampak lebih jelas. Namun, saya menemukan--atau lebih tepatnya memahami--cara lain untuk mengenal seseorang.

Adalah menjalin kebersamaan. Kita sudah tidak asing dengan pengalaman tingginya frekuensi pertemuan mampu menggerakan hati. Namun, kali ini saya baru benar-benar menyadari mengapa bisa begitu.

Ada banyak orang yang kita temui dalam keseharian. Orang-orang tersebut jugalah yang menyertai dan membersamai kita. Kita mengenal mereka, secara general. Saya pikir setiap orang punya presepsi terhadap orang lain dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang berperan selama ini.

Saya mengenal puluhan orang di kampus baik itu kakak, teman maupun adik tingkat. Tidak semuanya saya kenal secara mendalam karakternya. Ya hanya sekedar tahu dia tipe orang seperti ini dan itu. Dia terkenal cukup menyebalkan dan dia menyenangkan, begitu saja.

Meskipun sudah 3 tahun membersamai orang-orang tersebut, saya masih agak terkaget dengan penemuan baru saya tentang mereka baru-baru ini. Ya semenjak KKN, saya menemukan beberapa hal baru dari teman-teman saya. Ya saya katakan baru karena memang saya baru tahu.

Di sini, saya melihat kebersamaan yang erat bisa membuat kita melihat lebih banyak tentang seseorang. Mereka yang tadinya saya kira tidak menyenangkan ternyata punya sense of humor yang unik. Mereka yang tadinya terkenal sangat menyebalkan ternyata punya sesuatu yang ketika saya melihatnya saya bisa berkata "Hey, ternyata dia tidak terlalu menyebalkan!"

Ada tampilan yang kita nilai dari luar, ada isi yang kita lewatkan. Begitulah cara kerja kita melihat seseorang. Ketika kita membersamai mereka, akan ada sisi lain yang terkuak dari orang tersebut. Seperti ketika kita terpukau bahwa ekstrovert ternyata bisa memiliki pemikiran yang dalam atau si introvert yang ternyata (pasti) memliki kelakuan konyol.

Maka untuk mengenal seseorang lakukanlah dengan membersamai mereka, lebih dekat. :)

***
"3 tahun kenal, eh ternyata baru tahu sifat aslinya bisa lucu, care, dan sweet gitu."
"Iya kayak orang pacaran 3 tahun yang nggak tau apa-apa, dibandingin orang yang nikah terus tinggal bersama 1 bulan."
*eh

Mensyukuri Kemudahan

"Bapak,  di sini kalau mau cuci motor di mana ya?" tanyaku.
"Cuci motor di sini nggak ada." jawab si Bapak dengan wajah sedikit heran.
"Oh kalau di desa sebelah ada pak?" tanyaku lagi.
"Motor yang mau dicuci yang mana? Itu?"

Aku mengangguk. Beliau bergumam bahwa motor itu kotor sekali. Jelas saja, beberapa hari yang lalu aku harus melalui jalanan selama berjam-jam dalam keadaan hujan. Sempat seorang ibu-ibu menawari aku dan temanku untuk mencuci motor di rumah beliau. Namun, ku tolak karena tidak nyaman. Akhirnya, kami (aku dan temanku) memutuskan untuk mencuci motor kami di desa sebelah tepatnya di tempat tinggal teman kami yang juga sedang menjalani KKN. Kami sedikit terpaksa mencuci motor kami sendiri di tepi sungai. Bermodalkan sabun dan peralatan pinjaman kami membersihkan motor yang super kotor itu.

Ah, tiba-tiba aku tersadar kita terkadang melupakan sesuatu yang menjadi milik kita saat ia ada di sekitar. Salah satunya adalah kemudahan. Di Banjarbaru--tempatku berkuliah, aku bahkan bisa memilih tempat pencucian motor dengan leluasa. Di rumah pun demikian. Sementara di desa ini, ada banyak kemudahan-kemudahan yang biasa ku nikmati tidak tersedia.

Di sini, kami harus berjalan beberapa meter untuk mencari tempat berbelanja makanan ringan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Itu pun tidak terlalu lengkap. Kami harus pergi ke pusat kota dengan perjalanan yang cukup jauh untuk menjangkau tempat yang menyediakan barang-barang yang lebih lengkap. Selain itu, pasar pun hanya ada satu kali dalam seminggu. Lain lagi soal mencuci baju, mandi dsb. Keterbatasan air menjadi persoalan yang kalau di Banjarbaru/rumah bukanlah apa-apa.

Segalanya menjadi sedikit sulit dan aneh. Ternyata, selama ini ada banyak kemudahan yang terlupakan. Hal-hal kecil yang sepertinya sepele ternyata punya peran yang kadang tidak disadari. Di sini, kami belajar untuk mensyukuri keadaan. Mencoba untuk memaklumi setiap kekurangan yang ada dan membuang jauh-jauh keeksklusifan. Kami, mencoba untuk sederhana.

Hal-hal di atas hanyalah satu dari sekian hal yang hilang. Satu dari sekian kemudahan yang selalu kami rasakan. Serta tentu saja, satu dari sekian pelajaran yang kami dapatkan.

8.20.2014

What Have I done

Kemarin, saya hanya melihat lalu postingan ini.

Hari ini, saya tahu rasanya menanyakan pertanyaan tersebut pada diri sendiri.

8.03.2014

You Can't Be

source
You can't be jealous of something that doesn't belong to you (yet).
@dendiriandi

Tidak Selalu, Mentari

"Dari pesantren ya?" sapanya pada akhirnya. Sejak pertama melihatku sepertinya ia ingin tahu sesuatu. Kali kedua ia melihatku lagi, lalu ku balas dengan senyuman. Ia pun membalas dengan senyuman. Ketiga kalinya, ia menghampiri. Lalu terciptalah percakapan kecil.

Sesungguhnya aku tidak pandai berbasa-basi. Pun saya juga tidak terlalu ingin tau persoalan orang lain yang hanya sekedar bertemu lalu seperti dia. Namun dia membuka pembicaraan, dan aku pun berusaha menghargainya dengan mencoba membuat percakapan itu tetap hidup.

Ku keluarkan sebuah jeruk. Lalu ku tawarkan padanya. Ah, tidak kreatif ternyata dia sudah punya. Waktu cuci mulut yang seharusnya manis itu malah menjadi kikuk bagiku. Jeruk itu ku kupas kemudian hanya ku genggam. Tanggung.

Saya jadi teringat pertanyaannya. Saya bukan dari pesantren, jawabku. Dari Unlam ya tanyanya. Lalu ku simpulkan ia pun sama. Mungkin fakultas sebelah. Namun tetap ku tanyakan dia kuliah dimana. Oh ternyata aku salah. Dia berasal dari institut pendidikan agama di kota yang sama.

Aku bergumam. Apakah semua orang mengira jilbab lebar itu hanya milik anak pesantren? Bahkan ia berpikiran begitu.

Saya bukan anak pesantren, bukan juga yang mereka kira akhwat-akhwatan. Saya hanya perempuan yang sedang berusaha untuk menjadi baik, meski tidak selalu. Tidak selalu jilbab lebar itu mampu menakar, seberapa banyak amalan pemakai.

Ukhti namanya siapa?
"Ayu, kalau mba?"
"Mentari.." Ia tersenyum.

Tidak mentari, tidak selalu begitu. Bisikku.

Kaki Tangan Tuhan

Aya, seorang gadis manis yang umurnya setahun lebih muda dariku. Tapi jangan ditanya, tinggi badannya jauh melampaui orang yang bahkan lebih tua darinya. Setidaknya itulah yang terlihat dari fotonya.

Iya, sampai detik ini aku hanya bisa melihat fotonya. Setelah saling kenal 3 tahun silam, kami bahkan belum pernah bertemu. Entahlah apakah kami bisa disebut saling kenal. Yang jelas, aku masih mengingatnya.

Aku tidak  boleh lupa dengan kaki tangan Tuhan yang satu ini. Kami tidak pernah saling kenal sebelumnya, lalu dia datang di saat ku butuhkan. Bahkan, dia membantuku saat itu. Aku tahu gadis ini pasti sangat baik hati.

Dia juga yang memberi sedikit semangat padaku kala itu. Meskipun sempat ku lepaskan apa yang saat ini ku genggam, namun Tuhan punya cara sendiri menuntunku untuk kembali menggenggam apa yang Dia berikan.

Cara Tuhan memang unik, Dia bisa mengirimkan kaki tangan dimana saja, kapan saja, dan bahkan melalui siapa saja. Lewat kamu Aya, aku percaya bahwa takdir Tuhan akan menuntun hambaNya, dengan cara yang unik sekalipun. Contohnya lewat kamu.

Dari teman yang tak pernah bertemu tapi memendam rindu.

Antah Berantah, 22 Juli 2014.

Keesokan harinya, secara kebetulan (atau tidak), kami bertemu di Line. Aku kira, pesan rinduku sudah sampai. :)