"Dari pesantren ya?" sapanya pada akhirnya. Sejak pertama melihatku sepertinya ia ingin tahu sesuatu. Kali kedua ia melihatku lagi, lalu ku balas dengan senyuman. Ia pun membalas dengan senyuman. Ketiga kalinya, ia menghampiri. Lalu terciptalah percakapan kecil.
Sesungguhnya aku tidak pandai berbasa-basi. Pun saya juga tidak terlalu ingin tau persoalan orang lain yang hanya sekedar bertemu lalu seperti dia. Namun dia membuka pembicaraan, dan aku pun berusaha menghargainya dengan mencoba membuat percakapan itu tetap hidup.
Ku keluarkan sebuah jeruk. Lalu ku tawarkan padanya. Ah, tidak kreatif ternyata dia sudah punya. Waktu cuci mulut yang seharusnya manis itu malah menjadi kikuk bagiku. Jeruk itu ku kupas kemudian hanya ku genggam. Tanggung.
Saya jadi teringat pertanyaannya. Saya bukan dari pesantren, jawabku. Dari Unlam ya tanyanya. Lalu ku simpulkan ia pun sama. Mungkin fakultas sebelah. Namun tetap ku tanyakan dia kuliah dimana. Oh ternyata aku salah. Dia berasal dari institut pendidikan agama di kota yang sama.
Aku bergumam. Apakah semua orang mengira jilbab lebar itu hanya milik anak pesantren? Bahkan ia berpikiran begitu.
Saya bukan anak pesantren, bukan juga yang mereka kira akhwat-akhwatan. Saya hanya perempuan yang sedang berusaha untuk menjadi baik, meski tidak selalu. Tidak selalu jilbab lebar itu mampu menakar, seberapa banyak amalan pemakai.
Ukhti namanya siapa?
"Ayu, kalau mba?"
"Mentari.." Ia tersenyum.
Tidak mentari, tidak selalu begitu. Bisikku.
Sesungguhnya aku tidak pandai berbasa-basi. Pun saya juga tidak terlalu ingin tau persoalan orang lain yang hanya sekedar bertemu lalu seperti dia. Namun dia membuka pembicaraan, dan aku pun berusaha menghargainya dengan mencoba membuat percakapan itu tetap hidup.
Ku keluarkan sebuah jeruk. Lalu ku tawarkan padanya. Ah, tidak kreatif ternyata dia sudah punya. Waktu cuci mulut yang seharusnya manis itu malah menjadi kikuk bagiku. Jeruk itu ku kupas kemudian hanya ku genggam. Tanggung.
Saya jadi teringat pertanyaannya. Saya bukan dari pesantren, jawabku. Dari Unlam ya tanyanya. Lalu ku simpulkan ia pun sama. Mungkin fakultas sebelah. Namun tetap ku tanyakan dia kuliah dimana. Oh ternyata aku salah. Dia berasal dari institut pendidikan agama di kota yang sama.
Aku bergumam. Apakah semua orang mengira jilbab lebar itu hanya milik anak pesantren? Bahkan ia berpikiran begitu.
Saya bukan anak pesantren, bukan juga yang mereka kira akhwat-akhwatan. Saya hanya perempuan yang sedang berusaha untuk menjadi baik, meski tidak selalu. Tidak selalu jilbab lebar itu mampu menakar, seberapa banyak amalan pemakai.
Ukhti namanya siapa?
"Ayu, kalau mba?"
"Mentari.." Ia tersenyum.
Tidak mentari, tidak selalu begitu. Bisikku.
No comments:
Post a Comment