1.17.2014

Membaca Pikiran

http://spoonful.com

Terkadang, saya ingin sekali bisa membaca pikiran orang lain. Tanpa perlu susah payah bertanya, tanpa perlu susah payah menduga-duga. Saya akan dengan mudah tau apa yang mereka pikirkan ketika berbicara dengan saya, apa yang mereka pikirkan tentang saya, dan apakah saya cukup menyenangkan atau menyebalkan di mata mereka? Semua itu tentu dengan mudahnya saya ketahui, jika saya dapat membaca pikiran mereka.

Tapi, setelah saya pikir kembali, sepertinya sekalipun Tuhan memberika mukjizat semacam itu, saya pasti akan menolaknya.

Mungkin, di awal-awal saya akan riang tak terkira, memiliki kemampuan semacam itu pasti akan sangat menyenangkan. Saya bisa mengerti apa yang orang lain pikirkan ketika kami sedang mengobrol, saya akan menimpalinya dengan hal yang tentunya akan "nyambung". Ah, pasti akan menjadi percakapan yang menyenangkan sekali. Ketika ujian, ketika tidak tahu apa jawaban dari soal-soal yang ada di hadapan saya, mudahnya, saya pasti akan membaca pikiran teman saya. Ah, ujian pasti akan sangat mudah bukan? Ketika saya sedang berbelanja, maka saya akan mudah memperkirakan harga terendah yang bisa saya bayar untuk mendapatkan barang yang saya inginkan, tentunya dengan membaca pikiran si penjual. Betapa menyenangkan bukan?

Semuanya sepertinya akan terasa menyenangkan dan jauh lebih mudah ketika saya-lah si pembaca pikiran itu. Namun, bagaimana jadinya jika orang lain pun memiliki kemampuan yang sama. Bagaimana jika mereka pun mampu membaca pikiran saya? Mungkin, tidak akan pernah ada percakapan yang menyenangkan dan "nyambung" seperti yang saya bayangkan. Iya, karena percakapan itu hanya terjadi lewat "kepala", lewat membaca pikiran lawan bicara masing-masing. Bayangkan, betapa sepinya dunia ini. "Kau tahu senang sekali bisa pergi denganmu!" | "Iya, aku sudah membacanya dari pikiranmu." | ..


Mungkin, ruang ujian akan sangat ricuh, tidak pernah tenang. Bisa saja seseorang yang saya akan baca pikirannya telah membaca pikiran saya, niat saya. Dia tentu akan marah karena saya mencuri "pikirannya". Bayangkan, jika semua orang di ruangan ujian melakukan hal yang sama. Ah, tentu saja, sesuatu yang disebut ujian itu pun tidak akan pernah diadakan.

Mungkin, sebelum berhasil membeli sebuah barang, saya akan dijotos si penjual, karena dia telah membaca pikiran saya yang mengatakan penjual ini pelit sekali, tidak ramah, barang dagangannya jelek pula. Mungkin saya akan langsung diusir sebelum bisa menawar.

Bayangkan, itu hanya tiga kejadian sederhana. Bayangkan jika hal ini menyangkut soal persoalan negara yang jauh lebih kompleks, ah pasti akan ada banyak negara yang berperang. Bahkan istilah 'sepasang kekasih' pun mungkin tidak akan pernah ada. Tidak akan ada yang namanya anniversary, karena barangkali sehari saja dibaca pikiran kekasihnya, sudah terjadilah perang dunia ketiga di antaranya.

Begitu ya hidup. Terkadang kita menginginkan sesuatu yang mungkin akan terlihat sangat menyenangkan ketika kita memilikinya. Tanpa kita pernah mempertimbangkan, hal sesepele apapun itu dapat menghancurkan keseimbangan kehidupan manusia.

Maka, tidak ada alasan lagi untuk saya menginginkan hal-hal yang tidak saya punya saat ini. Karena, saya yakin, Tuhan memang benar-benar memahami apa yang dibutuhkan oleh hambanya.

Tentu saja, hal ini pun akan berlaku jika semua orang kaya, jika semua orang cantik atau jika semua orang pintar. Dunia ini, mungkin tidak akan pernah ada.

No comments: