Jujur saja, sebenarnya saya paling membenci ketika saya harus menjalani sesuatu yang ditentukan oleh orang lain. Toh, saya kan manusia dengan akal sehat. Kenapa sih saya tidak boleh menjalani segala sesuatu sesuai pilihan saya? Kenapa harus ada yang dengan semena-mena menentukan, harus seperti apa dan menjadi apa diri saya ini.
Kadang saya ingin memaki, memangnya kamu pikir saya nggak punya akal sehat? Berani sekali kamu menentukan pilihan hidup saya?! Tapi terkadang makian itu justru seharusnya saya layangkan kepada diri saya sendiri. Loh, saya kan tadi mengaku berakal sehat. Namun, kenapa mau-maunya ditentukan pilihannya oleh orang lain. Kamu kan bisa memilih mengikutinya atau tidak. Begitu protes diri saya pada diri saya sendiri.
Akan tetapi, apa semua idealisme saya di atas selalu berlaku? Ya kadang tidak. Ada kalanya, saya pun memang harus memilih pilihan yang ada, yang dibuat oleh orang lain. Itu sekali lagi ya karena saya tidak membuat pilihan sendiri, lebih memilih dibuatkan pilihan kemudian dipilihkan satu di antaranya.
Apakah sekarang saya sedang menyesal? Saya katakan tidak. Karena sebenarnya sejak awal itu adalah pilihan saya, pilihan yang saya buat. Pilihan untuk tidak membuat pilihan, pilihan untuk membiarkan saya mengikuti pilihan yang ada. Dan kali ini, dalam membuat pilihan itu, saya punya dasar, dasar yang menurut saya sangat kuat. Jadi, jika sesekali saya menyesali pilihan itu, saya akan mengingat bahwa saya memutuskannya tidak atas dasar diri saya sendiri.
Lalu, mau bagaimana saya setelah membuat pilihan itu? Itu yang terkadang membuat saya sedikit terganggu. Saya selalu iri dengan orang-orang yang bisa menjawab pertanyaan "Apa sih yang kamu cari?" "Kamu mau hidup yang seperti apa sih?" dengan penuh keyakinan. Karena terkadang bayangan saya tentang apa yang sebenarnya saya cari dan inginkan itu kabur. Sebentar datang dan terlihat jelas, namun terkadang hilang lagi.
Saya tau sumbernya, itu karena saya pun belum selesai dengan diri saya sendiri. Masih ada perang di dalam tubuh ini yang belum saya menangkan. Lalu bagaimana caranya saya menghadapi peperangan di luar sana?
Hari itu, hari dimana secara spontan saya berkata tidak, saya juga tidak mengerti kenapa kejadian itu berjalan singkat sekali. Namun, bisa saya rasakan sampai sekarang akibatnya. Kita saling diam, saling mendiamkan.
Kawan, ketika saya bertanya padamu, "Kira-kira, kenapa ya daun itu terjatuh? Apakah karena tertiup angin? Terbawa air hujan? atau Daun itu sudah terlalu lama berpegangan pada dahan itu, sehingga memang waktunya untuk terlepas?" Maka engkau akan menjawab dengan presepsimu bukan? Mungkin engkau akan menjawab itu karena angin, di saat aku berpikir mungkin daun itu memang sudah terlalu lama menggantung. Saatnya ia lepas dan digantikan dengan daun yang baru. Kita tetap bertahan dengan presepsi kita, tanpa kita pernah sekali bertanya pada daun itu sendiri, "Kenapa kamu jatuh?"
Jika kata tidak yang terucap pada hari itu seperti daun yang jatuh, aku ingin tau kawan, menurutmu kenapa ia jatuh?
Begitulah kamu. Kamu tidak bertanya bukan kenapa daun itu jatuh, kenapa yang keluar adalah kata tidak? Saya pun tidak menjelaskannya kepadamu alasan daun itu jatuh, alasan kata tidak itu keluar.
Ketahuilah, sekali lagi saya katakan, mungkin kata-kata yang keluar waktu itu belum tentu sebuah keputusan. Belum. Itu hanya bentuk kebimbangan saya, saya belum selesai dengan diri saya sendiri. Ketahuilah itu, sama sepertimu. Maka saya katakan di sini, meskipun belum tentu kamu membacanya. Daunnya jatuh karena angin. Kata tidaknya keluar karena terombang-ambing kebimbangan. Seperti daun yang terbawa angin itu.
Jika kamu meminta bantuan, maka tentu aku akan membantumu kan? Siapa pun yang meminta bantuanku kawan, bukan hanya dirimu. Namun, bukankah memberikan bantuan itu sama dengan memberikan waktu, dan memberikan waktu itu seperti memberikan kehidupanku. Lantas, masih boleh kan saya meminta waktu untuk berpikir, bagaimana caranya saya memberikan kehidupan saya ini padamu? Memikirkan apa yang harus saya lakukan untuk menutupi kehidupan saya yang nantinya sebagian akan hilang.
Begitulah kawan. Masing-masing kita hanya perlu waktu, untuk selesai dengan diri kita masing-masing. Sayangnya, kita pun sama-sama egois. Kamu egois karena tidak mau bertanya kepadaku, dan aku egois karena tidak mau menjelaskan alasannya kepadamu.
No comments:
Post a Comment