5.22.2013

Ayah


Rasanya, aku jarang menyinggung soal ayah. Namun, sesungguhnya akhir-akhir ini, mmm.. beberapa tahun belakangan ini bayangan soal ayah sering sekali mampir di benakku. Ayah adalah sosok yang luar biasa, seorang pekerja keras dan pejuang keluarga sejati di mataku. Ia keras dan gigih. Sifat kerasnya itu memang menurun hampir ke semua darah dagingnya, hanya mungkin berbeda kadarnya. Aku melihat sosok ayah sebagai seorang laki-laki tegas, pandai dan serba bisa. Mungkin itulah mengapa ibu kepincut hatinya.


 
Dari fotonya semasa muda, perawakannya gagah, aliran keras dengan kumis tipis. Seiring berjalannya waktu kumis itu menebal, membuatnya nampak sangar bagi yang tidak mengenal. Namun di balik kumis tebal itu, ada kelembutan dan kasih sayang melebihi sosok ibu. Itulah yang akhir-akhir ini ku lihat darinya. Ayah tak henti-hentinya mondar-mandir bak setrika saat ku katakan aku pulang. Terlebih ketika biasanya sekitar pukul 4 dini hari aku sampai namun hingga pukul 6 tak ada kabar. Tak ada sinyal, bus mogok di tengah jalan. Lengkap sudah membuatnya khawatir. Ibu? tak seheboh itu kubuat.

Semenjak berpisah, ya berpisah karena aku harus menimba ilmu sedikit jauh jaraknya. Ayah mungkin mulai merindukkanku, mungkin rindu yang jauh semakin hebat dibanding biasanya. Pernah sebelum memasuki semester satu, pada suatu makan malam sederhana beliau angkat bicara, "Nanti nggak bisa makan bareng sambil ngeliat ayu lagi ya.." dengan diiringi senyum tipis tapi sedikit perih, seolah-olah ini akan jadi perpisahan panjang. Aku tersenyum, namun menahan pilu di hati juga. Sejak aku lulus SMA, atau entahlah kira-kira ketika aku kelas tiga, Ayah mulai sakit-sakitan. Bukan darah tinggi, buka kolesterol apalagi diabetes. Penyakitnya bukan sekaliber penyakit macam itu. Sakitnya adalah soal syaraf dan tulang. Aku tak heran mengingat riwayat pekerjaan ayah yang memang penuh dengan peluh dan membanting tulang. Bahkan, tidak hanya demi keluarga tapi hal-hal itu sudah dilakukannya sejak masa kecil. Mbah, begitulah aku menyebut kakek dan nenekku, memang begitu keras pada beliau. Ayah putus sekolah dan berhenti mengeyam pendidikan bahkan kebahagiaan masa kecil karena kerasnya tuntutan mereka. Tuntutan untuk bekerja. Yah, begitulah orang tua zaman dulu, belum sadar benar pentingnya pendidikan. Bahkan, ibu pernah bercerita, dulu harus rela bersembunyi di bawah meja agar tidak ketahuan sedang belajar.


Sayang, kedua orangtuaku ini ada di zaman yang salah. Keinginan sekeras baja yang mereka miliki bahkan tak mampu menahan tekanan otoritas orang tua mereka untuk bekerja. Mungkin aku, aku lah, yang harusnya menjadi generasi kedua perjuangan mereka. Karena mereka telah sadar benar bahwa ilmu harus dikejar, sekalipun sampai negeri China, kata ayah. Semua kerja keras dan peluh yang telah menetes di masa mudanya belum berakhir, namun sekarang tak lagi untuk lembaran kertas bertuliskan rupiah namun untuk melawan rasa sakit di tubuhnya. Ayah, aku tak pernah tega melihat kesakitanmu. Ingin aku melakukan sesuatu untukmu, untuk mengurangi sakit itu. Entah hanya serentetan kata-kata yang memintamu untuk tetap bertahan dan kuat, seperti yang sudah-sudah. Meski, aku tau engkau sudah berhasil bertahan ayah, sampai sejauh ini. Ayah, anggaplah sakitmu adalah sebuah hadiah dari Sang Pengasih, untuk sedikit demi sedikit mencabut dosamu, dan menggantinya dengan ganjaran yang setimpal.


Ayah, maafkan aku yang selalu mebuatmu rindu. Membuat dadamu sesak karena memikirkan keadaanku. Itulah mengapa, aku tak pernah tega berkata bahwa anakmu sedang sakit ketika kau tanya mengapa pesanmu tak ku balas semalam. Ayah, mungkin kau tak secerewet ibu, mungkin kau pun tak sehangat ibu. Tapi, aku tau..Aku selalu tau, kasih sayangmu tidak berbeda besarnya dengan ibu. Untuk seorang ayah yang begitu mencintai putrinya...

No comments: