6.04.2015

Menyoal Selfie

Gambar dari Dok. pribadi
Memanjang foto diri sendiri sebenarnya sudah seringkali dilakukan banyak orang jauh sebelum kegiatan ini dikenal dengan istilah selfie. Semakin berkembangnya dunia internet, smartphone dan media sosial menjadikan kegiatan ber-selfie-ria kian populer. Tidak heran banyak smartphone keluaran terbaru dilengkapi fitur kamera yang mendukung dan aplikasi editing yang semakin banyak ragamnya. Bahkan, seorang amatir pun mampu melakukan editing sekelas pro. Jika dulu harus repot dengan photoshop dan program sejenisnya, saat ini cukup dengan satu klik saja kulit anda bisa jauh lebih putih dari aslinya.

Jujur saja, sebagai wanita pasti sulit menahan diri dengan selfie. Mengapa? Karena fitrahnya wanita itu ingin terlihat cantik dan tentu saja menunjukkan kecantikannya. Tidak mengherankan, jika selfie menjadi lekat dengan kaum hawa. Setidaknya, saat saya membuka instagram hampir sebagian besar foto yang diupload teman-teman perempuan saya adalah foto dirinya. Entah from head to toe atau sekedar wajahnya. Kadang saya cukup jenuh melihat wajah dimana-mana. Tidak perlu wajah orang lain, mengambil banyak foto wajah sendiri kemudian melihatnya di waktu yang berbeda saja membuat saya geli. Hehe.

Memangnya kamu nggak selfie? Of course, I did it too. Hanya saja, saya tidak punya cukup banyak kepercayaan diri untuk mempublikasikannya. Yah, terkadang satu dua kali saya lakukan. Tetapi tidak sering. Sejujurnya ini bukan karena saya sengaja menjadi sosok misterius atau justru terkesan sangat menjaga diri. Sederhananya, justru karena saya merasa tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu muncul karena saya merasa harus memoles fakta. Istilahnya disebut Airbrush reality. Terlihat lebih baik aslinya dibanding fotonya itu masih jauh lebih menyenangkan menurut saya dibandingkan "Eh, ternyata aslinya nggak sebagus di foto." 

Sadar atau tidak, Airbrush reality banyak dilakukan di media sosial. Tidak jarang apa yang kita bagikan di media sosial itu sudah kita poles sebaik mungkin. Foto bisa saja diedit maksimal, tulisan pun bisa, copy paste dan jadilah tulisan baru. Sadar dengan hal itu membuat saya belakangan sering skeptis melihat foto di media sosial. Tiba-tiba saja semua orang menjadi 'ahli' fotografer alam misalnya, terlihat sangat menarik dan indah. "Yaelah, itu sih kayaknya padang ilalang biasa aja deh!" pikir saya. Nah, pandangan skeptis saya ini termasuk soal selfie. "Eh si A sekarang makin putihan aja." Oh editan,  batin saya ketika justru di dunia nyata tidak mendapati demikian. Di lain kesempatan boleh jadi saya akan langsung menyimpulkan itu hanyalah editan. Well, kita tentu tidak tahu mungkin saja foto yang kita lihat di media sosial itu adalah hasil pengambilan ke sekian kali, atau hasil filter beberapa kali. Terkadang saya geli ketika membaca komentar berupa "Kak pake aplikasi editing apa? Kak pake filter apa?" di sebuah foto perempuan cantik. Seperti sudah menjadi rahasia umum, semua bisa cantik hanya dengan aplikasi dan filter yang tepat.

Ini dia yang menyedihkan, berkaitan dengan poin sebelumnya. Wanita itu ingin terlihat cantik dan menunjukkan kecantikannya. Tidak hanya itu saja, tentu ingin pula diakui. Nah, selfie bisa menjadi salah satu sarana untuk mendapatkan pengakuan itu. Sayangnya, terkait dengan airbrush reality selfie bisa jadi menjadi ajang untuk membohongi publik, dan juga diri sendiri hanya demi sebuah pengakuan. Ketika dibutuhkan sebuah pengakuan bukankah itu berarti tidak ada keyakinan? Kalau menampilkan foto selfie supaya terlihat cantik, berarti tidak yakin cantik? Kalau memoles fakta supaya terlihat lebih baik, bukankah itu berarti kita sadar bahwa faktanya tidak lebih baik? Selfie sewaktu-waktu adalah sesuatu hal yang dapat diterima, namun ketika itu bentuk kebohongan publik terlebih terhadap diri sendiri, apakah perlu? Mari lebih jujur pada diri sendiri.

#menyoalselfie #sisilain #opini #open #mind