6.20.2015

Ke-Eksklusif-an

Sebelum membicarakan banyak hal saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah ajakan yang mungkin ekstrim. Coba saat ini kalian memposisikan diri sebagai seseorang dari kaum marjinal di antara beberapa konglomerat. Sebagai seorang yang paling bodoh di antara cendekiawan yang menenteng buku-buku tebal. Sebagai seorang pendosa di antara para alim agama. Apa yang kalian rasakan (kira-kira)? Apakah kalian akan merasa terasing dan sulit memasuki perkumpulan tersebut atau justru merasa tidak pantas? Inilah yang disebut dengan kesan eksklusif. Menurut KBBI, eksklusif berarti a 1 bersifat mengasingkan diri (tt orang); 2 tidak bersedia menerima atau mengizinkan masuknya anggota baru (tt kelompok atau perkumpulan); 3 tidak termasuk.

Saya terpikir akan hal ini ketika melihat sekumpulan wanita muslimah berjilbab lebar. Tentu pernah kan melihat mereka membentuk lingkaran, mengaji atau sedang mengkaji ilmu? Coba sesekali tengok masjid di kampusmu. Tidak hanya wanita, laki-laki pun ada. Saat melihat lingkaran itu, rasanya sungguh menyenangkan jika bisa berada di antaranya. Bukan hanya pertemanan, tetapi juga persaudaraan. Sebagai orang yang setidaknya pernah mencecap sedikit manisnya perkumpulan semacam ini, jujur saya rindu. Namun, sebagai seseorang yang mungkin untuk saat ini tidak sesering dulu mengikuti lingkaran itu, saya merasa terasing.

Gambar dari sini
Saya pun menyadari satu hal. Entah disengaja atau tidak, mereka yang sedang membentuk lingkaran dalam kebaikan itu juga membentuk suatu penghalang (barrier). Lingkaran itu membuat batasan dalam hal bergaul. Saya memahami, bahwa sesungguhnya tidak ada niatan seperti ini. Namun, kesan yang tertangkap pada akhirnya oleh orang di luar lingkaran itu adalah sebuah keeksklusifan. Seolah-olah mereka yang baik itu, hanya mau bergaul dengan yang baik. Lantas memandang sebelah mata orang lain yang tidak termasuk dalam lingkaran. Kesannya sombong, tidak ramah, cuek, tak acuh, dsb.

Contoh kecil: Ketika ada di lingkaran tersebut, kalian akan akrab dengan sapaan akhi ukhti. Bahkan, orang-orang di luar lingkaran itu pun akan mengelompokkan kalian sebagai kelompok ikhwan-ikhwan atau akhwat-akhwat. Entah dari mana asal muasalnya, sapaan ini pun melahirkan kesan eksklusif. Terbukti, seorang teman pernah menolak ketika saya ajak mengikuti liqo dan berkata "Aku kan bukan kelompok ukhti-ukhti" katanya. Fakta yang menyedihkan bagi saya.

Sayangnya, ketika ada di dalam lingkaran itu banyak yang tidak sadar. Entahlah atau justru banyak yang merasa sudah selayaknya menjadi ekslusif. Semoga ini hanya prasangka buruk saya saja. Saat kita menimba ilmu, mengikuti lingkaran kebaikan semacam itu, tidakkah itu membuatmu ingin mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk merasakan indahnya? Mengapa kau bangun penghalang itu? Saya bisa memahami, ketika kita membuat batasan pada lawan jenis. Namun, cukup mengherankan saat sesama perempuan atau sesama laki-laki justru melakukannya. Saya pernah bertemu seorang akhwat dengan pembawaan tak acuh dan kurang ramah. Padahal, beliau adalah senior, pencetak kader. Saya takut sikap seperti ini akan menjadi tolak ukur orang lain untuk pukul rata dalam menilai kelompoknya.

Bukankah kita berada di posisi yang sama? Duduk sama rendah berdiri sama tinggi? Mengapa kau harus mengasingkan dirimu dan membuat orang terasing?

Catatan:
acuh a peduli; mengindahkan: mengacuhkan; v memperhatikan atau memedulikan
(KBBI)

No comments: