4.08.2014

Fanatik Terhadap Agama (?)

Tadi malam, ibu menelepon saya. Ah, ibu saya ini seperti punya indera keenam, tahu sekali waktu yang tepat, di malam saat ujian tengah semester telah selesai. Kebetulan saya juga ingin ngobrol dengan ibu, kangen. Perbincangan malam tadi dibuka dengan menanyakan kabar, ibu bertanya beberapa hal tentang hari-hari saya, dsb. Lalu, tiba-tiba entah nyerempet  dari mana ibu mengajak membicarakan anak tetangga. Perempuan.

Ibu berkata, "Si anu sudah semester segitu, belum lulus dan nggak kerja mau jadi apa. Sikapnya jadi berubah gara-gara ikut kelompok-kelompok Islam yang beraliran itu yu. Makanya kamu jangan ikut-ikutan kayak gitu ya.."

Deg! Saya tiba-tiba merasa kaget dan tentu saja sedih. Apakah ibu saya ini tidak tau kalau anaknya di sini pun senang ikut Liqo meskipun tidak sampai seperti orang-orang yang dimaksud ibu saya. Lalu saya bertanya, "Masa' ikut pengajian, belajar agama nggak boleh ma? Ayu di sini ikut kok." kata saya.

"Ya, boleh tapi jangan kayak gitu, fanatik banget. Jadi nggak peduli sama orang lain."

Begitulah, gambaran kecil--sangat kecil--pemikiran orang-orang terhadap orang-orang yang kelihatannya menggenggam Islam dengan erat. Tunggu dulu. Biar saya ceritakan persolan ini dengan lengkap.

Dulu, saya termasuk orang yang berpikiran demikian. Saya termasuk orang yang pernah mendefinisikan seseorang sebagai yang fanatik terhadap agama. Saya memang bukan anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang sangat agamis. Ayah saya bukan ustadz, ibu saya bukan ustdzah. Tapi, yang saya ketahui ibu dan ayah saya adalah orang yang selalu mengajarkan saya mengaplikasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, mungkin saya tidak pernah diajari menutup aurat dengan jilbab lebar, memakai cadar dsb. Namun, saya selalu diajari untuk berbagi makanan dengan tetangga, tidak pacaran, dan selalu menjaga sholat.

Ketika masuk SMP dan saya bilang ke Ibu saya ingin memakai jilbab, Ibu saya sangat mendukung. Ketika ibu saya punya makanan lebih, ibu saya mencontohkan untuk membaginya pada tetangga terutama makanan yang baik bukan sisa, saya diajarkan untuk memberi yang terbaik dari yang saya punya. Dan ketika saya pernah ketahuan pacaran, saya dimarahi habis-habisan. Saya selalu diingatkan Ayah, jangan lupa untuk membaca doa sebelum naik kendaraan. Bahkan, saya pernah diajari untuk menyingkirkan ranting di tengah jalan oleh ibu.

Mungkin, Ayah Ibu saya bukan orang yang awalnya saya definisikan sebagai fanatik agama. Tapi saya tahu, keduanya adalah sosok yang mengajari saya 'bagaimana menjadikan ajaran islam itu digunakan dan dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari'.

Kita kembali pada persoalan fanatik agama. Dulu saya juga punya pemikiran ini. Namun, setelah saya membaca dan menelaah, maka ada banyak pertanyaan yang muncul di benak saya.  Seperti, ketika ada wanita islam yang memakai jilbab lebar untuk menutup auratnya, apakah itu disebut fanatik? Awalnya saya berpikir, ya. Kemudian saya berpikir, bukankah itu memang perintah Allah pada setiap muslimah? Jadi, jika seorang muslimah menutup auratnya dengan benar sesuai aturan-Nya, menurut saya itu bukan fanatik, itu patuh/taat. Kini, saya melihat itu dengan pandangan yang berbeda.

Saya pernah diceritakan ada seorang muslim yang sholat tahajud dan puasa setiap harinya hingga dia lupa untuk menggauli istrinya & tidak pernah merasakan masakan istrinya yang sebenarnya sangat nikmat. Bahkan, dia tak tau dimana letak kamar istrinya hingga ditegur oleh sahabatnya.


 Itu yang saya kira fanatik. Mencintai sesuatu, sampai lupa dengan hal lainnya.
Apakah Islam mengajarkan untuk setiap detiknya kita hanya boleh sholat, mengaji dan duduk di dalam kamar untuk menyembah Allah? Tidak bukan, bahkan setiap hal yang diniatkan ibadah adalah ibadah di mata Allah. Belajar, bekerja, berdakwah. Semua dinilai ibadah.

Itu dia point-nya. Ibu saya boleh jadi berpikiran begitu karena orang-orang yang menggenggam erat islam itu lupa. Seolah-olah taat pada Allah itu hanya dengan ibadah yang kita kenal sebagai ritual seperti sholat. Lalu, lupa bahwa berbaik hati pada tetangga, bekerja, dsb. adalah ibadah, ajaran islam.

Kedua, boleh jadi karena zaman mulai berubah ke arah kejahiliyahan lagi. Orang menutup aurat dengan benar disangka fanatik, padahal mencoba taat. Orang tidak mau makan riba, dikira sombong. Orang tidak mau pacaran, dikira sok suci. Orang ikut kajian islam, tidak gaul. Astagfirullah.. Akan ada keadaan nanti, dimana yang benar itu terlihat seakan-akan salah dan yang salah seakan-akan benar. Akan ada. Maka, boleh jadi menggenggam Islam dikatakan fanatik adalah salah satu tandanya. Ingatlah akan ada masa dimana menggenggam Islam seperti sedang menggenggam bara api. Mungkin, saat ini telah tiba waktunya.

Saya belajar untuk taat, bukan fanatik. Saya belajar untuk memenuhi aturan-Nya. Jangan menjadi muslim/muslimah yang kaku, ingatlah sesungguhnya Islam itu benar-benar indah jika dapat diterapkan dalam kehidupan kita. Jadilah muslim/muslimah yang dapat menunjukkan bahwa dengan menggenggam islam kita menjadi pribadi yang baik, menyenangkan, peduli terhadap sesama dan lingkungan.

Jadilah penggenggam bara itu, jadilah yang sedikit itu. Jadilah agen muslim/muslimah yang baik dan tunjukkan muslim/muslimah itu keren karena taat! ;)

Kepada ibu, suatu hari nanti akan saya tunjukkan bahwa saya tidak fanatik, saya hanya mencoba taat dan saya akan tetap peduli kepada sesama seperti apa yang telah engkau ajarkan. Sesungguhnya, kalau bukan menjadi anak yang sholehah, bagaimana lagi aku membalas jasamu ibu?



1 comment:

Lalu Abd. Rahman said... Reply Comment

Fanatik terhadap agama itu wajib, sebab kalau ga fanatik jadi meremehkan perkara-perkara agama. Iya kan?