10.01.2011

Tumbuh di Tengah Badai

Alhamdulillah, akhirnya ada waktu untuk membaca habis sebuah novel dalam satu hari. Maklum saja aku masih terhitung mahasiswa baru yang sedang beradaptasi ‘memanage’ waktu yang jauh berbeda semasa SMA. Meskipun di SMA aku tergolong cukup sibuk dan tidak terlalu kaget dengan kesibukan baru sebagai mahasiswa, tetapi perbedaan yang benar-benar mencolok adalah kebebasan yang sekarang ku miliki. Kalau di SMA sibuk tetapi terjadwal, sementara sekarang aku ‘bebas’ mengatur segalanya. Kalau tidak punya cukup kesadaran, pasti banyak waktu yang terbuang sia-sia. 

     Sebagai wujud realisasi salah satu targetku, aku putuskan membuat review novel atau buku apapun yang pernah ku baca. Tujuan pertama tetap, aku ingin berbagi. Kedua, supaya aku ingat apa saja yang pernah aku baca, salah satu cara meninggalkan jejak. :)

     Baiklah, langsung saja. Kali ini aku akan berbagi kesan setelah membaca sebuah novel berjudul “Tumbuh di Tengah Badai” karya Herniwatty Moechiam.
Sebuah novel yang mengisahkan tentang perjuangan seorang Ibu dengan ketegaran dan ketulusannya membesarkan anak bungsunya yang didiagnosis autis. Kisah yang sungguh berkesan, bahkan cukup beralasan untuk membuatku menitikkan air mata. Sungguh seorang wanita yang sangat tegar, tetap berdiri kokoh menghadapi rintangan yang datang tidak sendiri namun bersamaan menumpuk di bahunya. Bahkan, ia harus menghadapinya sendirian tanpa sandaran hati. Ketika keputusasaan datang, 3 buah hati itulah yang menjadi alasannya untuk tetap hidup dan bertahan. Ketulusan, ketegaran, keuletannya benar-benar membuahkan hasil, bahkan lebih dari yang ia harapkan. Sungguh, rencana Tuhan itu lebih indah.

“Hati ibu mana yang tidak hancur saat mengetahui anaknya tak mungki tumbuh normal seperti anak-anak lainnya? Catra didiagnosis autis, sebuah gangguan perkembangan yang belum banyak dikenal pada masa itu. Di saat anak-anak lain mulaia berinteraksi , ia malah sibuk dengan dunianya sendiri, sebuah dunia yang tidak bisa dimasuki orang lain, tak terkecuali ibu yang telah melahirkannya.
Benarkah harapan sudah sirna? Tidak, Catra harus bisa tumbuh seperti anak-anak lainnya, sebuah keinginan yang tampak musykil kala itu. namun, bersama uluran tangan sang ibu yang selalu berusaha memandu keluar dari duna soliternya, Catra menyingkirkan semua ketidakmungkinan yang membayang dan menggantinya dengan sebuah kebanggan berbalut rasa syukur.
Kisah inspiratif yang layak disimak oleh semua orang tua, bahwa setiap anak adalah mutiara yang perlu diasah agar berkilau gemilang. Bagi anda semua, inilah kisah yang menuturkan sebuah harapan yang disemai di tengah badai kehidupan.”

     Ada beberapa kutipan yang aku suka dari novel ini, antara lain:
  • “Keterbatasan ilmu dan wawasan tidak boleh menjad alasan untuk tidak berani melangkah.”
  • “Kini, setiap saat aku selalu merindukan waktu untuk berbincang dengan Tuhan.”
  • “Memelihara dan memupuk perasaan dendam sama saja dengan memelihara benalu yang makin lama makin besar, satu saat parasit ini akan menguasai dan membinasakan tanaman inang yang memeliharanya.”
  • “Namun, karena masih gelap, pandanganku ke depan hanya mampu sebatas sinar lampu bisa menjangkau. Ibaratnya, aku menjalankan kendaraan pelan-pelan dan sebatas jangkauan cahayanya saja karena pikirku setiap kami melangkah maju, sinar itu juga pasti maju juga menerangi langkah kami selangkah ke depan.”
  • “Sekolah Kehidupan, sekolah bagi makhluk Allah yang berakal tinggi bernama manusia. Sekolah lintas agama, ras, gender, umur, maupun status sosial. Sekolah yang tidak memandang miskin dan kaya, tak membedakan penguasa dan rakyat jelata.”
Aku merekomendasikan novel ini, semoga menginspirasi! :)

No comments: