5.29.2013

Sepotong Negeri Utopia

Negeri yang makmur itu seperti apa? Seperti dalam dongeng kah? Seperti khayalan kah atau sekedar utopia? Apakah negeri yang makmur itu berarti, tidak ada lagi yang tangannya menengadah? Tidak ada lagi yang merintih kelaparan? atau tidak ada lagi yang nyaris menjemput kematian? Mungkin, namun negeri yang makmur itu harusnya sederhana, sesederhana saat dimana tidak ada yang harus memutar otak apalagi membanting tulang hanya untuk menjawab pertanyaan, "Esok makan apa?" Begitu kan?


Negeri yang makmur itu bukan utopia, pasti bukan. Coba tengok, dulu ketika zaman kekhalifahan Bani Umayyah, masyarakat Islam dalam kemakmuran yang ideal. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru diangkat menangis karena besarnya tanggung jawab yang harus dipikul. Khalifah Umar terkenal karena semua harta miliknya dan keluarganya diserahkan kepada negara dan dia hidup dengan sederhana, jujur dan giat memberantas korupsi. Masa itu, para petugas zakat sampai putus asa mencari orang miskin untuk diberi zakat. Tidak ada pengemis di jalanan. Penjara menjadi lengang. Semua sudah berkecukupan dan warga taat hukum. Ketika semua orang telah menjadi mampu dan tidak ada lagi yang berhak menjadi mustahik atau penerima zakat, itulah salah satu definisi negeri yang adil dan makmur. (Dikutip dari Ranah 3 Warna, A. Fuadi).

Lalu, coba kita bandingkan dengan negeri kita. Saat menjelang Idul fitri, tempat pembagian zakat luar biasa ramainya. Banyak yang berebut bahkan nyaris mati karena terinjak-injak. Pemimpinnya? Bak tikus berdasi, menggerogoti hak rakyat di lumbung padi mereka sendiri. Ironis ya.. Lalu baru-baru ini media semakin gencar-gencarnya mengungkap berbagai tindak korupsi khalifah negeri ini, pencitraan menjelang 2014 belaka kah? Namun terlepas dari itu, masyarakat tentunya sudah risih dan murka. Di sisi lain, negeri ini sudahkah aman?  Rasa aman itu bisa sesederhana perasaan tidak ada alasan untuk mengunci pintu rumah. Namun kenyataannya, mengunci pintu adalah suatu keharusan yang tak pernah kita tinggalkan. Itu berarti, tanpa kita sadari, kita belum merasa aman. Setidaknya dua indikator itu belum kita penuhi, lantas salahkah aku menyatakan negeriku masih jauh dari kata makmur?

Coba, pemimpin negeri ini atau setidaknya kita sendiri (sbg pemimpin diri) mulai menyadari dan mau belajar pada sepotong negeri utopia yang pernah ada, pada pemimpinnya. Bahwa, kehidupan seperti itu ada dan tentunya bisa kita buat ada.


No comments: